Kabut tipis menyelimuti kawasan Al-Bahar, distrik pesisir di Gaza versi dunia alternatif ini. Malam begitu sunyi hingga suara ombak terdengar seperti erangan panjang. Di balik bangunan-bangunan rapuh yang gelap, sebuah tim kecil bergerak tanpa suara.
Mereka adalah Unit Garuda Hitam, bagian paling tersembunyi dari Pasukan Elit Garuda TNI, terkenal karena keahlian infiltrasi urban pada malam hari. Dikirim oleh koalisi kemanusiaan internasional, mereka menerima misi untuk menyelamatkan sekelompok dokter relawan yang hilang sejak dua hari lalu.
Di depan tim, Mayor Sena Adiwirya, sang komandan, berhenti di persimpangan jalan. “Ingat,” katanya rendah, “operasi kita tak boleh melibatkan warga, pasukan manapun, atau pihak bersenjata setempat. Fokus: menemukan tim medis.”
“Siap, Mayor,” jawab Letnan Yuni, ahli elektronik dan komunikasi yang gesit seperti kucing malam.
Namun Sena tahu misi kali ini jauh dari sederhana. Intel terakhir menyebutkan bahwa daerah itu sedang menjadi jalur pergerakan Pasukan Tempur IDF dalam dunia alternatif—khususnya unit pengintai malam yang sama berbahayanya dengan Garuda Hitam.
Sena menyentuh helmnya. “Kita bukan musuh siapa pun di sini. Tapi kita tidak akan menyerahkan orang-orang yang kita cari.”
Di bagian lain kota, unit IDF alternatif itu bergerak di atas gedung, menggunakan kamera termal dan drone kecil. Komandannya, Kapten Eyal Ronen, menerima laporan pergerakan misterius yang tidak cocok dengan pola kelompok bersenjata lokal.
Eyal menyipitkan mata. “Cari tahu siapa mereka. Jangan tembak kecuali terancam.”
Dua pasukan elite, sama-sama hening, sama-sama terlatih, sama-sama menghindari kontak—namun keduanya bergerak menuju titik yang sama.
Garuda Hitam menyusuri koridor sempit ketika Yuni menemukan tanda kehidupan digital. “Mayor, saya menangkap sinyal distress, frekuensi darurat PBB. Sumbernya jarak 500 meter ke utara, di gedung sekolah tua.”
Mayor Sena mengangguk. “Kita bergerak.”
Namun baru tiga langkah mereka berjalan, suara kecil terdengar — dengungan propeller.
“Drone,” bisik Sersan Tama.
Dalam sekejap, Garuda Hitam berlindung di balik bebatuan. Drone itu bukan milik kelompok lokal. Desainnya ramping, lensa termalnya menyapu lantai jalan.
“IDF…” gumam Sena. “Mereka sudah di area target.”
Drone berhenti tepat di atas posisi mereka. Waktu seolah membeku.
Yuni menarik alat ganggu sinyal berukuran telapak tangan. Ia menekan tombolnya.
Drone itu bergetar… lalu mati total dan jatuh, tanpa suara keras.
Mayor Sena memberi acungan jempol kecil. “Bagus. Kita lanjut sebelum operatornya curiga.”
Di sisi lain, Kapten Eyal melihat drone-nya menghilang dari layar.
“Interferensi elektronik,” gerutunya. “Ini bukan pekerjaan amatiran.”
Perhatiannya berubah. Pergerakan di area sekolah tua kini menjadi prioritas. “Tim, kita ke sana. Cepat.”
Garuda Hitam tiba lebih dahulu di sekolah yang hampir runtuh. Di dalamnya, ruang kelas penuh karung pasir seolah pernah dijadikan pos pertahanan.
“Mayor, ada suara,” kata Tama pelan.
Mereka mendekat. Dari balik pintu ruang perawat, Sena mendengar suara perempuan.
“Apakah ada orang di sana? Kami butuh pertolongan…”
Sena segera membuka pintu. Empat dokter dan dua perawat terlihat lemah, sebagian terluka, namun hidup.
“Kami dari unit evakuasi internasional,” kata Sena. “Kami akan membawa kalian keluar.”
Tapi sebelum mereka sempat bergerak, suara langkah berat dari luar koridor terdengar.
Sena menoleh cepat. “Kontak. Formasi bertahan!”
Pintu depan gedung terbuka paksa. Sorot lampu taktis masuk seperti gigi singa yang siap menelan.
“Drop your weapons!” suara beraksen asing terdengar.
Mayor Sena maju, tangan terangkat sedikit. “Kami Pasukan Garuda. Misi evakuasi. Ada tenaga medis internasional dalam gedung ini.”
Cahaya lampu menyingkap wajah Kapten Eyal.
Dia menatap Sena, wajah keras tetapi matanya waspada. “Kalian operasikan jamming pada drone kami.”
“Kami harus lindungi korban,” jawab Sena. “Kami tidak berniat menyerang.”
Eyal menatap dokter-dokter yang terluka itu. Ia menggeleng perlahan. “Wilayah ini akan menjadi zona tembak dalam beberapa menit. Gedung ini tidak aman.”
“Justru itu kami harus pergi,” kata Sena.
Ketegangan memuncak. Dua unit elit saling mengukur gerakan, milidetik demi milidetik.
Lalu— BOOM! Sebuah roket menghantam bagian belakang sekolah. Debu menyembur memenuhi ruangan.
Dokter-dokter itu berteriak. Ledakan kedua menyusul.
“Musuh lokal!” seru salah satu prajurit IDF.
“Semua orang keluar!” perintah Sena dan Eyal hampir bersamaan.
Di tengah hujan puing dan tembakan dari luar, kedua unit itu membentuk lingkar perlindungan bersama-sama.
Garuda Hitam mengawal para dokter, sementara IDF menahan serangan dari sayap kiri. Pluit peluru memotong udara begitu dekat sehingga debu di dinding bergetar.
“Kita butuh rute cepat!” teriak Yuni.
“Terowongan perawatan di lantai bawah!” jawab prajurit IDF. “Arah timur!”
“Baik!” Sena memberi aba-aba. “Kita bergerak!”
Pertempuran sengit meledak di koridor sempit. Tama menembak lampu gantung untuk mengaburkan pandangan musuh. Sementara itu, Eyal memberikan tembakan penutup yang presisi.
Saat mereka mencapai terowongan, sebuah proyektil menghantam dinding, membuat seluruh koridor berguncang.
“Masuk semua! Cepat!” seru Eyal.
Satu demi satu mereka turun ke terowongan, gelap dan lembap, namun aman.
Di dalam kegelapan itu, Sena menoleh pada Eyal. “Jika kita tak bekerja sama, semua orang sudah mati tadi.”
Eyal mengangguk, napasnya berat. “Di medan perang, kadang kita dipaksa mengingat siapa yang benar-benar butuh perlindungan.”
Terowongan itu berakhir di kanal air kotor di pinggir kota. Dari sana, rombongan menuju titik evakuasi, di mana kendaraan PBB sudah menunggu.
Ketika para dokter naik ke dalam mobil, salah satu dari mereka menahan tangan Sena. “Terima kasih… kalian menyelamatkan kami.”
Sena tersenyum tipis. “Kalian yang lebih berharga. Kami hanya menjalankan tugas.”
Kapten Eyal berdiri di samping, wajahnya kini lebih tenang. “Sampai jumpa lagi, Mayor. Semoga dalam keadaan yang lebih baik.”
“Semoga,” jawab Sena.
Mereka saling memberi hormat singkat—hanya beberapa detik, namun penuh rasa saling menghargai.
Saat kendaraan evakuasi menjauh, Sena menatap langit yang mulai terang oleh fajar.
“Malam panjang,” katanya pada timnya. “Tapi kita berhasil.”
Yuni tersenyum letih. “Mayor… saya kira mereka akan menahan kita.”
“Mungkin,” jawab Sena. “Tapi bahkan dalam gelapnya perang, manusia masih bisa memilih jalan yang lebih terang.”
Dan di bawah langit yang perlahan berubah dari hitam menjadi biru pucat, Garuda Hitam berjalan pergi, meninggalkan jejak yang tak terlihat—namun akan bertahan lama.